Jumat, 19 September 2008

PENDERITAAN, KEMATIAN, DAN PEMBEBASAN

Oleh GEDE PRAMA


ADA seorang sahabat yang menjadi pengamat kelahiran yang cermat. Setelah pergi ke banyak negara, menyaksikan demikian banyak kelahiran manusia ternyata ada yang sama di antara semua kelahiran: bayinya menangis, dan tangisannya hampir sama. Entah itu di Eropa, Amerika, Australia sampai dengan Asia semuanya bermuara pada hal serupa ini. Sehingga menimbulkan pertanyaan, "Apa tanda-tanda kehidupan yang bersembunyi di balik semua ini?" Tentu sangat terbuka peluang untuk lahirnya berbagai penafsiran dari sini. Dan seorang sahabat ada berbisik, "Kalau bayi lahir menangis adalah tanda-tanda awal dari penderitaan. Mau lahir di keluarga kaya raya, berlimpah cinta sampai dengan yang disebut sempurna, tetap saja manusia tidak bebas dari penderitaan." Paling tidak pasti kena sakit, umur tua dan ditakut-takuti kematian. Dan tangisan yang serupa menunjukkan bahwa ia terjadi di semua tempat dan waktu.Lebih-lebih di zaman ini. Pada zaman sejumlah hal menyentuh hati terjadi tidak henti-hentinya: bunuh diri, gantung diri, perang, petaka alam dan masih bisa ditambah dengan yang lain. Sehingga mudah sekali membukakan pintu keingintahuan, "Kalau memang isi hidup ini adalah penderitaan, apakah kematian adalah jalan pembebasan?" Kalau kematian adalah jalan pembebasan, bukankah bunuh diri sekaligus gantung diri adalah langkah-langkah pembebasan? Sungguh tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan berat ini. Sejumlah guru pernah bertutur serius, bahwa penderitaan manusia berakar pada identifikasi berlebihan pada badan dan pikiran. Badan dengan lobang-lobangnya di satu sisi memang menjadi sarana bertumbuh (mulut untuk makan, hidung untuk bernapas, dst), namun di lain sisi ia adalah pembuka jalan bagi penderitaan. Mulut yang nafsunya berlebihan adalah awal berbagai penyakit. Lobang seks di bawah kalau diikuti, semuanya bisa hancur dalam semalam. Pikiran juga serupa, ia pembantu yang baik, namun penguasa yang amat berbahaya. Sebagai pembantu, pikiran membantu berhitung, mengenali hitam-putih, baik-buruk dst. Namun sebagai penguasa yang sifatnya dualistik (kiri-kanan, sukses-gagal), pikiran juga yang membuat manusia senantiasa berguncang. Tidak puas dengan titik kehidupan, kemudian melompat ke titik ekstrem lain yang bernama kematian. Tidak puas dengan keramaian, melompat ke titik ekstrem lain yang bernama sunyi-sepi. Ada satu hal yang tersisa dari sini: kehidupan yang berguncang!Sehingga bisa dimaklumi, kalau ada seorang guru yang mengandaikan kehidupan manusia dengan a circle without center. Sebuah lingkaran berputar tanpa titik pusat. Di luar titik pusat, tidak ada hal lain terkecuali guncangan. Habis di atas, di bawah. Habis di kiri, di kanan. Habis kaya, miskin. Setelah bahagia, menderita. Setelah senang, sedih. Guncangan, guncangan dan hanya guncangan. Tentu tidak terlalu mengejutkan menyaksikan kemudian, kalau di negara kaya seperti AS kemudian konsumsi pil tidur tergolong yang paling tinggi. Di keluarga kaya mudah sekali dipicu untuk tergelincir ke dalam pertengkaran dan perceraian. Semakin jauh kaki melangkah dari titik pusat (sebutlah amat kaya), semakin mungkin ia tergelincir ke titik ekstrem lain yang sama jauhnya dari titik pusat. Dari sini, ada yang bertanya, "Apa dan di mana titik pusat kehidupan?" Sebuah keinginan intelektual sederhana, namun memerlukan sejumlah langkah berat untuk merealisasikannya. Sederhana, karena bisa dijelaskan dengan bahasa sederhana. Berat karena hanya latihan yang tekun yang bisa menghantar manusia ke sana. Ada banyak penjelasan tentang titik tengah. Sekumpulan orang timur (seperti Buddha, Confucius sampai Lao Tze) menyebut titik pusat ada di jalan tengah (the middle way). Seperti menyetel senar gitar, terlalu kencang putus, terlalu kendor tidak berbunyi. Pengagum cinta, menyebutkan kalau titik tengah ada dalam cinta. Do everything lovingly, demikian saran sederhana namun mendasar. Sebab, apa saja yang dilakukan penuh cinta (dari menyapu, mengepel, menjadi ibu rumah tangga, sampai dengan bekerja) akan otomatis menggiring manusia ke titik pusat.Ada lagi yang datang dengan penjelasan yang agak rumit. Titik pusat tidak di kepala, tidak juga di hati. Ia ada di pusar. Kepala hanya sumber guncangan. Hati hanya jembatan menuju pusar. Makanya, manusia-manusia yang hidup dengan hati lebih mudah hidup tenang seimbang, karena sedang melalui jembatan menuju pusar. Dan pusar ini juga yang menjadi titik paling menentukan ketika manusia berada dalam kandungan Ibu. Dengan damai, tenang sekaligus seimbang setiap bayi berada di kandungan Ibu. Dan kedamaian terakhir, dibimbing melalui titik pusat yang bernama pusar. Ada juga penjelasan yang lebih rumit lagi, titik pusat ada di atas dualitas baik-buruk, benar-salah, sukses-gagal, hidup-mati, dst. Seorang guru pernah berbisik: "When you are not concerned with neither life nor death, then you are centered." Tatkala manusia tidak lagi ditarik terlalu kuat baik oleh kehidupan maupun kematian, ia mulai terpusat. Dan Anda pun dipersilakan menambahkan pendekatan lain, atau memilih salah satu pendekatan yang ditawarkan di atas. Yang jelas kata-kata dan logika saja tidak banyak membantu. Hanya ketekunan berlatih dalam keseharian yang banyak membantu. Dan seorang sahabat yang latihannya mengagumkan, serta telah hidup bertahun-tahun di titik pusat pernah menulis buku berjudul No Fear No Death. Bahkan kematian pun berhenti menakut-nakuti ketika manusia terbebas di titik pusat. (SH)

MENGUBAH CACIAN MENJADI KEKAGUMAN

Oleh : GEDE PRAMA


MENJADI besar tanpa penderitaan sekaligus cacian orang, itulah
kemauan banyak sekali anak muda. Dan kalau memang kehidupan seperti
itu ada, tentu ada terlalu banyak manusia yang juga menginginkannya.
Sayangnya wajah kehidupan seperti ini tidak pernah ada. Sehingga
jadilah cita-cita menjadi besar tanpa penderitaan hanya sebagai
khayalan manusia malas yang tidak pernah mencoba.

Ini serupa dengan khayalan seorang sahabat Amerika yang bertanya:
kenapa Yesus tidak lahir di Amerika di abad ke-21 ini? Rekan lainnya
sesama Amerika menimpali sambil bercanda: memangnya ada wanita
Amerika yang masih perawan? Namanya juga canda, tentu tidak
disarankan untuk memikirkannya terlalu serius. Apalagi tersinggung.
Namun bercanda atau tidak, serius atau sangat serius, kisah-kisah
manusia kuat dan terhormat hampir semuanya berisi kisah-kisah penuh
cacian sekaligus penderitaan. Sebutlah deretan nama-nama mengagumkan
seperti Nelson Mandela, Mahatma Gandhi sampai dengan Dalai Lama.
Semuanya dibikin kuat sekaligus terhormat oleh penderitaan.

Mandela menjadi kuat dan terhormat karena puluhan tahun dipenjara,
disakiti serta diasingkan. Sekarang, ia tidak saja dihormati dan
disegani namun juga menjadi modal demokrasi yang mengagumkan bagi
Afrika Selatan. Gandhi besar dan menjulang karena terketuk amat dalam
hatinya oleh kesedihan akibat diskriminasi dan penjajahan. Dan yang
lebih mengagumkan, tatkala perjuangannya berhasil, ia menolak memetik
buah kekuasaan dari hasil perjuangannya yang panjang, lama sekaligus
mengancam nyawa.

Dalai Lama apa lagi. Di umur belasan tahun kehilangan kebebasan.
Menginjak umur dua puluhan tahun kehilangan negara. Dan sampai
sekarang sudah hidup di pengungsian selama tidak kurang dari empat
puluh lima tahun. Setiap hari menerima surat sekaligus berita
menyedihkan tentang Tibet. Lebih dari itu, negaranya Tibet sampai
sekarang kehilangan banyak sekali hal akibat masuknya pemerintah Cina.
Namun sebagaimana sudah dicatat rapi oleh sejarah, daftar-daftar
kesedihan Dalai Lama ini sudah berbuah teramat banyak. Menerima
hadiah nobel perdamaian di tahun 1989. Setiap kali berkunjung ke
negara-negara maju disambut lebih meriah dari penyanyi rock yang
terkenal. Karya-karyanya mengubah kehidupan demikian banyak orang.
Sampai dengan julukan banyak sekali pengagumnya yang menyimpulkan
kalau Dalai Lama hanyalah seorang living Buddha.

Hal serupa juga terjadi dengan tokoh wanita mengagumkan bernama Evita
Peron. Belum berumur sepuluh tahun keluarganya berantakan karena
ayahnya meninggal. Kemudian menyambung kehidupan dengan cara menjadi
pembantu rumah tangga. Bosan jadi pembantu kemudian menjadi penyanyi
bar. Dan bahkan sempat diisukan miring dalam dunia serba gemerlap
ini. Pernikahannya dengan Juan Peron tidak mengakhiri penderitaan,
malah menambah panjangnya aliran sungai air mata. Namun kehidupan
Evita Peron demikian bercahaya. Tidak saja di Argentina ia bercahaya,
di dunia ia juga bercahaya.

Salah satu guru meditasi mengagumkan di Amerika bernama Pema Chodron.
Tidak saja bahasanya sederhana, pengungkapan idenya juga mendalam.
Namun kekaguman seperti ini juga berawal dari kesedihan mendalam.
Sebagaimana yang ia tuturkan dalam When Things Fall Apart, perjalanan
kejernihan Pema Chodron mulai dengan sebuah kesedihan yang tidak
terduga:

suaminya mengaku jatuh cinta pada wanita lain dan minta segera cerai.
Bagi seorang wanita setia, tentu saja ini seperti petir di siang
bolong. Namun betapa menyakitkan pun beritanya, hidup harus tetap
berjalan.

Dari sinilah ia belajar meditasi dari Chogyam Trungpa. Dan ini juga
yang membukakan pintu kehidupan yang mengagumkan belakangan. Sehingga
di salah satu bagian buku tadi, Chodron secara jujur mengungkapkan
kalau mantan suaminya yang di awal seperti mencampakkan hidupnya,
ternyata seorang pembuka pintu kehidupan yang mengagumkan.

Cerita Thich Nhat Hanh lain lagi. Tokoh perdamaian asli Vietnam ini
mengalami banyak sekali pengalaman getir ketika perang Vietnam. Kalau
soal hampir mati, atau hampir diterjang peluru panas sudah biasa.
Namun tatkala membawa misi perdamaian ke Amerika, ternyata pemerintah
Vietnam melarangnya kembali ke Vietnam. Dan sejak puluhan tahun yang
lalu Thich Nhat Hanh bermukim di Prancis. Dan penderitaan serta
kesedihan-kesedihan yang mendalam ini juga yang membuat nama Hanh
demikian dikenal dan menjulang. Pernah dinominasikan sebagai pemenang
hadiah Nobel perdamaian, dihormati di banyak sekali negara, dan karya-
karyanya lebih dari sekadar mengagumkan.

Daftar panjang tokoh-tokoh kuat sekaligus terhormat, yang dibuat
besar oleh penderitaan dan cacian orang masih bisa diperpanjang.
Namun semua ini sedang membukakan pintu kehidupan yang amat berguna:
penderitaan dan cacian orang ternyata sejenis vitamin jiwa yang
membuatnya jadi menyala. Ini mirip sekali dengan judul sebuah buku
indah yang berbunyi: Pain, the Gift that Nobody Want. Rasa sakit,
penderitaan, cacian orang hampir semua manusia tidak menghendakinya.
Tidak saja lari jauh-jauh, bahkan sebagian lebih doa manusia memohon
agar dijauhkan dari penderitaan, cacian sekaligus rasa sakit.

Namun daftar panjang kisah manusia seperti Dalai Lama, Pema Chodron
sampai dengan Thich Nhat Hanh ternyata bertutur berbeda. Hanya
manusia-manusia yang penuh kesabaran dan ketabahan untuk tersenyum di
tengah cacian dan penderitaan, kemudian jiwanya menyala menerangi
kehidupan banyak sekali orang.

Ternyata, penderitaan dan cacian orang – di tangan manusia-manusia
sabar dan tabah – bisa menjadi bahan-bahan yang memproduksi kekaguman
orang kemudian. Persoalannya kemudian, di tengah-tengah sebagian
lebih wajah kehidupan yang serba instant, punyakah kita cukup banyak
kesabaran dan ketabahan?


Senin, 08 September 2008

PUASA

Sekarang adalah bulan ramadhan.......bulan dimana umat Islam diwajibkan berpuasa.
Berpuasa sering diartikan secara ragawi dengan tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan sex mulai sejak subuh sampai maghrib. Pertanyaannya kemudian....bagaimana dengan puasa hati & pikiran? berpuasa dari hati yang buruk, berpuasa dari hati yang penuh prasangka, berpuasa dari hati yang dengki, iri, dan perasaan negatif lainnya. Begitu pula bagaimana dengan puasa terhadap pikiran yang negatif, pikiran yang kotor, pikiran untuk menyakiti orang lain, pikiran untuk menjatuhkan orang lain, dan puasa atas pikiran untuk menomor-satu-kan diri dan menomor-dua-kan orang lain. Sudahkah kita berpuasa itu?????
Memang tidak mudah......
Saya saja seringkali masih belum mampu mengendalikan hati dan pikiran.
Setiap ada hal-hal yang tidak sesuai dengan pikiran saya, seringkali langsung mempunyai pikiran negatif.
Setiap kali ada yang tidak sesuai dengan hati saya, seringkali langsung mempunyai perasaan hati yang negatif, mangkel, jengkel, danlain sebagainya.

Namun, berpuasa seringkali hanya pada bulan ramadhan saja. Apakah kita juga berpuasa di luar ramadhan ??? Berpuasa yang tidak sekedar ragawi dan phisically. Melainkan puasa hati dan pikiran. Kalau soal puasa hati dan pikiran....tentu tidak sebatas pada ramadhan saja bukan ???

Bukankah dengan puasa hati dan pikiran inilah yang mampu membersihkan dan menjernihkan jiwa kita sehingga tergapai nafsul muthmainnah.